Hari Ini Mungkin Berbeda
by
Aisyah Izzati
- Januari 25, 2015
Hari ini mungkin berbeda.
Ketika tanah air dan angkatanku
bersorak ria tentang hari jadi mereka, aku mesti tergopoh-gopoh mengenal sebuah
dunia baru. Siapa dia dan bagaimana seterusnya. Aku diminta untuk belajar
bergerak sendiri. Benar-benar sendiri dengan beberapa tuntunan terkadang. Enam
tahun lalu lamanya juga bukan merupakan pengalaman sia-sia. Aku juga bersekolah
di asrama. Bersosialisasi dengan sekian orang yang belum kukenal semestinya.
Tapi setiap tiga tahun itu, kehidupan berjalan saja. Ada peraturan mengikat
yang kemudian tanpa sadar membuatku tertuntun rapat. Sehingga aku dibuatnya
menyukai lingkungan yang sedemikian rupa. Ya, itu adalah tiap tiga tahun
laluku. Kemudian beginilah cerita empat tahunku kemudian.
Esok pagi tak akan lagi sama.
Tidak ada teh hangat yang tersedia di meja, bahkan selimut yang bisa ditarik
tidur kembali. Tidak ada raungan sirine yang memintaku untuk segera menuju
masjid. Tak ada lagi 61 kawan yang riuh
dengan keceriaannya masing-masing.
Mengajak untuk sekadar melenturkan otot di lapangan hijau atau mengambil
sekotak nasi di kantin yang kemudian disantap ramai-ramai di living asrama.
Kali ini semua mungkin terasa
asing bagiku. Bahkan jalan-jalan kecil di sekitar kompleks aku terkadang masih
ragu. Aku mungkin akan terlihat sebagai tiang hilang yang berjalan sendirian.
Kawan lamaku? Mereka menyebar di tempat yang berbeda-beda. Untuk menjangkaunya
saja aku masih kesulitan. Tapi beginilah semua berawal. Aku diminta kembali
untuk mengenali sekian kehidupan yang belum kumengerti. Sekian episode drama
tanpa ada tatanan kebiasaan yang mengikat.
Menata cara memandang hidup.
Menata cara memahami Indonesia. Menata
cara memahami prakata semesta. Menguatkan diri bahwa kemungkinan untuk
menemuimu itu lelah adanya. Keluargaku, tetaplah tinggal di antah berantah bumi
tercinta. Semoga kita dipertemukan lagi dalam keadaan yang lebih baik. Bawalah
sejuknya ilmu yang kau pilin di sana. Bak kesturi yang akan melumuri wibawa
sosok dirimu. Kau selalu dahsyat di mataku.
Satu, dua, tiga rentang waktu
berlalu. Lamat-lamat kusadari diskusi kita tak akan pernah berada pada garis
yang sama. Setidaknya ujung niatan ada pada sebuah caya terang yang sama.
Mungkin karena kita pernah di tempat yang sama. Ya, pernah begitu benderang
sampai temaram rembulan pun kalah indahnya.
Sukma ini memang belum merasakan beban yang
membuat lutut dan telapak meretas tanah. Tapi tak dinanya jika akal sudah
mengetahui getir yang menghadang di depan sana. Ruh pun tak menafikkan diri
dari rasa goyah. Bilamana jemari mengkaku tak sebebas dahulu. Tapi yang
kuingat, sebuah bangsa ada di pundakku.
Rumah memang menjadi tempat yang
nyaman untuk pulang. Mendengar kata-kata yang membuat sadar bahwa si miskin
ilmu ini berada pada lingkungan yang tidaklah pelik. Ternyata kalian begitu
kaya. Semoga otak ini tak pernah salah mencerna pilinan kata tanpa nada itu.
Atau bahkan masalah sepele yang seharusnya disimpan di ruang tertutup lamanya.
Karena sadarku, sebuah bangsa ada di pundakku.
Jika sampai raga ini mengenal lelah,
jiwa ini semakin payah, fikr ini semakin sakit, dan rasa sudah semakin pelik,
jangan ragu tuk menasehatiku.
Stay vertikal and horizontal.
Stay vertikal and horizontal.