#Puisi 6 : Sajak-Sajak Dermaga
SAJAK-SAJAK DERMAGA
Camar kalap
menari-nari
Mencambuk
mentari dengan bilah cemeti
Dan humus pun
kembali menggelayut sepi
Menyisakan
gincu di bibir tak bertepi
Dermaga kini
rapuh,
Digebu ombak
kekarang runtuh
Acapkali tuan
kerap mendayuh
Ilalang air
perlahan lepuh
Agaknya peron
tua lupa mereka sedang bersimpuh
Dermaga kini
sepi,
Sendawa anak
ikan tertinggal di sela fondasi
Pilarnya pergi
menggendong sejuta mimpi
Menyisakan
luka yang nganga tak henti
Dermaga kini
sunyi,
Menghapus
biduk cinta berpasang sejoli
Mengambil tawa
tengil-tengil yang berlari
Mengetik ulang
sekian drama melodi
Tapi,
Pasir pantai
tak lagi jadi Srikandi
Dermaga kini
menangis,
Dalam sendunya
yang terbawa arus
Tersisa rona
yang tak lagi jelas
Puing luka
sudah membekas
Tak kembali,
tak berbalas
Dermaga kini
menua,
Tapi sajak
merah-jingga tak kan kembali ada
Agaknya kita lebih sering lupa. Seruni-seruni yang tak dijaga keperawanannya. Dibiarkan terjamah ternoda, tapi tak diobati lukanya. Mereka adalah bakal-bakal untuk dicinta.
Kadang kita senang berkutat dengan polemik pemerintahan negeri ini. Menguak sekian misteri dan beradu fakta tentang kebenarannya. Benar, perilaku ini baik adanya. Karena kini, kita tak lagi berada di posisi yang hanya mencecap dokumentasi. Akan banyak yang turut nyemplung menilik fakta. Tapi tak sedikit pula yang menjadi pengamat beralibi mencerdaskan sejawat. Tak apa. Usahamu baik adanya.
Bagaimanapun teatrikal drama yang terpentas di antah berantah bumi tercinta nyata adanya. Tinggal bagaimana memintai kata agar cikal penerus tetap cinta bangsa. Tentang semua realita, tanpa ada permainan kata. Tanpa menafikkan sekian problematika yang selalu renyah untuk diusung dan dibahas. Begitulah proses. Menjadi lebih baik memang keinginan seluruh tonggak negeri ini. Dan negeri ini kaya akan inspirasi muda-mudi yang mungkin belum sefaham dan sebahasa. Proses mengkritik itu penting. Karena dengannya, perbaikan bisa perlahan terwujud untuk menciptakan esensi kesejahteraan. Duduk di kursi pemerintahan memang getir. Akan lebih banyak cacian daripada pujian. Tapi begitulah nikmat bagi abdi yang telah mewakafkan jiwa raganya untuk negara. Kiranya perihal ini pembaca lebih ahli dari pada penulis.
Nah, lalu dari sudut para pengoreksi. Kesempurnaan akan selalu menjadi tuntutan. Tapi setelah menghujamkan permintaan perbaikan adakah kita ingat tentang sebuah kewajiban? Bukankan abdi-abdi masyarakat ini wajib didoakan? Ikhlas dan mendoakan, menghormati dan memuliakan, mendengar dan taat, menyampaikan nasehat dan mengingatkan, membela dan membantu. Kiranya itu adalah poin-poin yang pernah penulis baca mengenai adab kepada pemimpin. Lihatlah, poin mengingatkan memang jelas dipaparkan. Tapi ada juga kewajiban mendoakan yang mungkin lebih sering luput. Lebih jarang ditengok daripada poin mengingatkan.
Tengoklah,
pertiwi ini begitu kaya. Bukan pengalih perhatian atau semacam aksen penghias
drama. Mereka adalah bakal benih untuk dicinta. Agaknya telinga anak cucu
teredam oleh zamrud katulistiwa ini. Siapa lagi yang akan menjadi pemerhati?
Jika sekian juta nyawa hanya fokus pada dunia koreksi dan lupa pesona negeri.
Siapa yang akan menjadi bakal pecinta negeri? Jika sekian juta nyawa sibuk
mengkritik kelabu politik dan lupa cecorak warna negeri. Agaknya perlu kita
sematkan dalam akhir cerita panjang mengenai negeri ini. Tentang pesona yang
berlenggok di sepanjang ribuan pulau yang bersatu. Mereka juga butuh dicinta.
Karena ketika negara-negara hidung belang melirik Srikandi Indonesia, tamatlah
permata itu. Bahkan menariknya kembali akan menjadi sesuatu yang teramat pelik.
Saat luka sudah tergores di kulit srikandi, mengobati tak berarti menjadikannya
cantik kembali. Ini pesan penulis di ujung tulisan ini.
Ingatlah, “Bentang alam
ini tak hanya berhias debu belaka.”
0 comments