5.50 aku masih memerlukan beberapa
persiapan terakhir menuju pelayaran. Pagi itu sedikit berkutat dengan laptop
dan desain pamflet sebelum akhirnya naik cetak lalu ditinggal. Sedikit riweh
dengan pemadatan waktu dan serba kurang. Masih ke sana ke mari mencari tempat
print kopi lihai ala anak mahasiswa yang biasanya gampang ditemui di sekitaran
kampus. Terhentilah rem motor ke warung internet yang biasa jadi tongkrongan
bocah-bocah sekitaran Ambartawang main game. Aku meninggalkan file untuk
kemudian kembali menata tas koper.
11.30 Memacu sepeda motor dibonceng
abi. Turun diperempatan lalu menyebrang dan berjalan sedikit ke depan pabrik
kertas yang sudah tua. Sepuluh, sebelas, dua puluh
bis lalu lalang sampai akhirnya jam 12.30 bis damri berteriak-teriak dari jauh
memanggil kami dengan klaksonnya. Naiklah abi, umi, dan aku tentunya menempuh
satu jam perjalanan menuju bandara adi sucipto Yogyakarta. Yang mana
kawan-kawanku sudah berangkat dari Solo naik mesin panjang yang seperti ular itu.
16.30 seharusnya sudah naik mesin
terbang. Tapi kami masih berduyun-duyun membawa koper bertroli-troli antri
untuk check-in seperti orang habis kena bencana saja. Ribet sekali ke sana
kemari. Sebentar menggelepar sembarangan karena capek. Bapak dosen selaku pembimbing KKN sempat mojok sedikit lalu membuka laptop dan mengunjungi situs siakadnya.
Maklum minggu ini minggu terakhir input nilai. Wajar saja, salut. Scanning
barang terakhir pakai insiden barang susulan segala pula. Gunting dan pupuk EM4
harus dilarikan ke barang-barang yang nanati di simpan di bagasi. Dua manusia, Damai
dan Alex yang nggak rampung-rampung kembali dari toilet cukup membuat rombongan dag
dig dug.
17.00 itu pertama kali aku naik pesawat. Untung
dekat jendela. Bisa lihat miniatur rumah macam maket yang sering kita bikin, katanya.
Bisa sedikit cekrik-cekrik awan kalau sudah sampai di atas. Atau sedikit
berkabar ke khalayak manapun bahwasanya aku sudah pernah ada di langit-langit
sejajar dengan awan. Menyapa matahari dan orang-orang di bawah, kalau dengar, seperti
yang kami lakukan saat kecil kalau ada pesawat lewat. Semua sudah naik. Badan
pesawatmundur sedikit lalu berputar ke
arah jalur penerbangan. Sembari itu mbak-mbak pramugari berbaju biru dan ber-make up tebal memeragakan cara
memakai safety seat walaupun yakin pasti ga keliatan sama yang duduk di paling
belakang. Yang duduk di dekat jendela pun lebih milih buat nengok ke luar dari
pada melihat tutorial mbak-mbak yang mungkin mereka sudah hapal atau bisa di
baca di leaflet yang terselip di tempat duduk masing-masing. Badan pesawat
bergetar lebih kuat. Ancang-ancang mau melayangkan besi yang beratnya
berton-ton itu. Gila. Mana bisa. Tapi nyatanya begitu, hukum fisika dan manusia
cerdas dahulu sudah memecahkannya. Walaupun perlu perlahan-lahan untuk
menstabilkan itu, sedikit menukik kanan kiri dan bikin jantungan. Pesawat Nam
Air ini kalem juga akhirnya. Ah, benar juga rumah rumah kecil terlihat dari
atas. Kecepatan kendaraan yang terlihat melambat akibat hukum relatifitas (?) dibanding
yang kami alami di dalam pesawat. Oh begini rasanya melihat langsung, nggak cuma
dari rekaman drone MTMA yang suka ditonton di teve.
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya :) Apabila ada yg bermanfaat atau menginspirasi saat anda sekalian membaca tulisan saya, saya sangat bersyukur. Dan jika karena suatu kebutuhan tertentu mengharuskan anda mencatut tulisan di sini, alangkah baiknya jika sumber juga dicantumkan~ Selamat membaca.