Ruang yang Merawat Kewarasan
Apakah suasana ruang benar-benar berpengaruh dalam mengurangi stress dan perasaan tertekan?
Photo by Nick Shuliahin on Unsplash |
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan bahwa keadaan
sehat bukan sekedar keadaan tanpa penyakit tapi meliputi keadaan fisik, mental,
dan kesejahteraan sosial secara penuh. Sementara itu, untuk mencapai kondisi
ini tidaklah mudah terlebih bagi mereka yang memiliki trauma karena mengalami
kejadian yang tidak diinginkan. Proses pemulihan sendiri tidak selalu berjalan
linier. Perasaan tertekan dan stress masih bisa dialami penyintas bahkan bila
kejadiannya sudah lama terjadi. Untuk mencapai keadaan pulih kembali dan berada
pada kondisi sehat fisik, mental, dan sosial proses pemulihan harus dilakukan
secara menyeluruh. Layaknya sebuah obat,
lingkungan sebagai wadah aktivitas dan ruang hidup utama penyintas perlu
dilibatkan dalam proses pemulihan tersebut.
Pelibatan ruang sebagai
salah satu pendorong proses penyembuhan menjadi begitu erat karena manusia
tidak bisa lepas dari ruang sebagai wadah aktivitas utamanya. Sejumlah
penelitian telah membuktikan bahwa sebagian besar waktu manusia dihabiskan di
dalam ruangan. Hasil penelitian Brian
Diffey (2011) bahkan menemukan rata-rata manusia
menghabiskan hampir 90% waktu hidupnya di dalam ruangan. Sebagai
konsekuensinya, suasana suatu ruang berpengaruh besar terhadap dinamika kondisi
fisik, mental, maupun sosial penghuni di dalamnya. Hal ini memberikan
kesempatan bagi kita untuk memiliki kontrol terhadap kualitas ruang dengan menyesuaikannya
sesuai kondisi yang dibutuhkan.
Lebih spesifik, keterlibatan
ruang dalam memengaruhi kondisi mental pengguna terjadi melalui pengalaman
ruang spasial yang dibentuk oleh ruang yang ditempatinya. Seluruh indera
manusia bekerja sama dalam merasakan pengalaman ruang tersebut sebagai stimulus
pada otak, yang kemudian diproses menjadi berbagai bentuk emosi. Dengan mengatur
suasana ruang dan lingkungan maka informasi yang diterima oleh indera dan
diproses otak juga akan berubah, begitu pula kebiasaan dan tingkah laku
pengguna. Hal ini seperti yang disampaikan Roger S. Ulrich dalam tulisannya, “How Design Impacts Wellnes”
bahwa desain yang baik dapat mengurangi stress dan rasa cemas, menurunkan
tekanan darah, mengurangi kebutuhan akan pengobatan rasa sakit, hingga
mempersingkat masa tinggal di rumah sakit.
Desain yang baik.
Desain yang buruk. Tak ada desain ruang yang bersifat netral. Penataan ruang
pada akhirnya pasti berdampak dalam mendorong kondisi fisik dan psikologis
secara positif, atau sebaliknya, menambah tingkat stress dan tekanan pengguna.
Kondisi ruang ini dapat diciptakan dengan mengurangi maupun menghilangkan
penyebab-penyebab stress serta mengadakan distraksi positif pada ruangan. Kedua
hal ini dapat dibentuk dengan mengolah faktor-faktor pembentuk suasana ruang
seperti pengolahan denah, pemilihan
material, akustik ruang, kualitas pencahayaan, elemen tambahan seperti properti
ruang (berfungsi sebagai distraksi positif), serta pengadaan keterlibatan alam
yang dapat dicapai melalui desain biofilik.
Namun demikian, kemampuan manusia untuk mengadakan ruang yang dapat mendukung kesehatan mental berbeda-beda, terlebih jika dilihat dari faktor ekonomi. Maka dampak kesehatan psikologis maupun fisik yang dirasakan setiap orang juga akan bervariasi. Sebagaimana trauma yang dapat dirasakan oleh siapa saja tanpa mengenal usia, gender, dan status sosial, besar harapan bahwa hak mendapatkan ruang yang layak bagi pemulihan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
___
Opini ini dimuat pada Digital Ebook Archevent 2021 yang mengangkat tema RE(DIS)COVERY. Tema ini berawal dari isu bencana alam yang berdampak langsung terhadap kesehatan mental dan bagaimana healing architecture dapat berkontribusi secara psikologis untuk membantu pengguna melalui proses resilensi.
0 comments