Kecelakaan Memaknai : Puisi 3 Dimensi
Puisi, terkadang
dipilih sebagai salah satu cara untuk merepresentasikan makna lewat keindahan
kata. Jika diingat lagi perkembangannya dari jaman dahulu, mulanya puisi
sebatas larik dengan rima-rima tertentu. Ahh, kini makin beragam rupanya.
Setelah beberapa orde berlalu, kiranya bungkus ‘kontemporer’ lebih melekat
untuk bisa dinikmati semua orang. Anggaplah semua orang berhak menjadi
pujangga, tak hanya tokoh-tokoh macam Ismail Marzuki, WS Rendra, Sapardi Djoko,
dll yang sajak-sajaknya boleh menggema antara. Tentu semua orang berhak
bersajak dengan gaya kekiniannya masing-masing.
Puisi,
tak semua orang bisa mengapresiasinya sesuai yang dimaksudkan penyair. Terlebih
dengan keragaman gaya bersajak tiap orang yang berbeda-beda. Apa yang
difisikkan penyair bisa jadi dimaknai secara beragam. Tentu itu adalah ‘hak’
pengamat sebagai objek pembaca puisi. Ada hal yang menarik di sini bagi saya (walaupun
penulis juga tidak luput dari kedangkalan ilmu tentang hal ini), yaitu penyair dapat
menyampaikan makna dengan sajaknya yang ‘indah’ atau saking indahnya makna dalam puisi itu justru tidak bisa dimaknai.
Hmmm. Orang hanya terpana bungkusnya tanpa tahu isinya. Bahkan, penyair sendiri
pun bisa terpeleset dengan terlalu memperindah bungkus tanpa memasukkan makna.
Tapi
sebenarnya bukan tentang itu yang ingin saya utarakan. Kecelakaan memaknai
dalam puisi ini saya temukan juga dalam dunia arsitektur. Bangunan berdiri
bukan hanya atas sebuah permintaan rancang bangun. Arsitektur tidaklah sesempit
mengenai ilmu bangunan saja. Memahami arsitektur pun diiringi dengan memahami
ruang yang hidup di sekitar bangunan itu sendiri. Seperti sosial, ekonomi,
budaya, bahkan politik. Hal ini yang terkadang tidak mudah ditangkap oleh
pengamat atau pengguna objek arsitektur. Sama seperti puisi bukan? makna yang
ingin disampaikan oleh sang arsitek tak jauh beda dengan makna yang ingin
disampaikan seorang penyair pada pembaca. Terlepas dari gaya merancang bangun
yang beragam, nilai yang ingin disampaikan arsitek tak sampai pada objek.
Fisik
pada arsitektur sama halnya dengan kata dalam puisi. Keduanya adalah hal yang
ditangkap oleh indera yang kemudian diteruskan sehingga menimbulkan suatu presepsi
tertentu. Saya setuju bahwasanya keberadaan fisik bangunan dan kata dalam puisi
adalah citra yang harus ada dan merupakan wajah daripada karya itu sendiri. Citra
tak mungkin lepas dari objek arsitektur, sepertihalnya kata yang tidak mungkin
tidak tercantum dalam puisi. Mungkin ada khalayak yang memisahkan antara wajah
karya dan makna yang ingin disampaikan didalamnya. Citra karya yang dianggap
indah, memang sengaja dihadirkan sebagai sesuatu yang dapat dinikmati atau
dikagumi oleh indera. Sedangkan makna atau isi karya adalah perihal yang
terlepas dari ‘keindahan’ dalam karya. Akan tetapi bagi saya, keindahan itu
justru bernilai lebih dan lebih jika pengamat juga dapat menangkap keindahan
itu secara sepaket. Sepaket? Ya, keindahan yang memang diciptakan untuk
dirasakan pengamat dan keindahan yang terkadang hanya dimiliki oleh pembuat
karya. Keindahan milik pembuat karya yang dimaksud adalah makna yang ingin
disampaikan lewat karya tersebut. Keindahan yang diketahui oleh pembuat karya
pasti lebih dari sekedar keindahan yang hanya ditangkap oleh objek pengamat.
Sayangnya,
bahkan mau merasakan keindahan yang sepaket, memaknainya yang citra saja
terkadang masih keliru. Memang tidak akan langsung tepat dan sepenuhnya benar
menangkap ‘makna’ yang ingin disampaikan dalam objek arsitketur. Boro-boro
dapat mengetahui maknanya, terkadang pengguna bangunan adalah objek makna itu
sendiri, sehingga....yaaa... kita tidak menyadarinya. Singkat cerita, puisi dan
arsitektur bagi saya adalah hal yang mirip. Dalam KBBII,
Pu.i.si
: gubahan dlm bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat
sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan
tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus;
Bedanya,
puisi adalah gubahan bahasa sedangkan Arsitektur merupakan gubahan massa dan
ruang yang ditata. Kecelakaan yang kerapkali dilakukan saat mengapresiasi puisi
alangkah baiknya tidak dibawa-bawa saat mengapresiasi objek rancang bangun
arsitektur atau sebut sajalah puisi 3dimensi.
0 comments