Prinsip

by - Agustus 22, 2014

Pada hari ini, 22 Agustus 2014, hari ketiga Osmaru. Aku belajar mengenai sebuah prinsip. Mengenai istiqomah dan mempertahankan iman. Iman memang ada di hati, tapi terkadang realisasi menjadi sulit diwujudkan ketika diri sendiri saja masih ragu untuk mepertahankannya.

Dress code yang digunakan pagi itu adalah polo warna biru dongker dan celana training. Sementara ukuran polo yang diperoleh secara memesan tak memiliki ukuran seperti apa yang kubayangkan. Celana training sudah didapatkan. Hasil meminjam dari mbak-mbak yang sekamar kos denganku. Aku memilih untuk berangkat pagi-pagi demi menghindari resiko datang terlambat. Tepat saat aku hendak beranjak berdiri meninggalkan kamar, mbak Eris berkata, “Berangkatnya pakai rok aja ya”

“Tapi gimana mbak? Ntar dibilang nggak sesuai sama apa yang udah diinformasikan”
“Akhwat kok... Pakai aja rok dulu. Kalo ntar emang bener-bener nggak bisa, ya baru dicopot.”
“...”
Hening lama. Sementara mbak Eris tampak beberapa kali keluar masuk kamar, dan terus berkata, “Udah, nggak papa. Pakai rok aja...”
“Enggg... Gimana mbak?” Saat itu masih ragu. Ada keinginan kuat untuk mempertahankan prinsip ini. Tapi ada bisikan yang tanpa sadar membuatku semakin melemah. Suaraku mulai bergetar dan merinci apa saja yang sudah terjadi.
“Nggak papa. Dulu aku juga cuma berdua sama temenku yang mau mempertahankan prinsip beginian. Itu namanya istiqomah, Dek.”

Aku pun akhirnya mengambil rok hitam di tasku dan memakainya. Saat itu yang di hati ini masih terasa belum kuat. Rasanya ingin menangis padahal ini hanyalah masalah sepele.
“Bilang aja sama petugasnya...”
“Tapi temenin ya, Mbak”
“Iya wes, tak temenin.”

Begitulah sekiranya diskusi singkat yang akhirnya membuatku mengenakan rok yang memang seharusnya terpasang menutupi kedua kakiku.

Tempat apel masih terlihat sepi. Mbak Eris mencoba meminta izin dengan salah satu panitia Osmaru. Tampaknya orang itu faham “kenapa”. Tapi Ia hanya bisa menjawab bahwa perihal ini bukan wewenangnya. Dan setelah mengobrol singkat pun akhirnya mbak Eris meyakinkanku atas perizinan yang baru saja diperolehnya.

Tapi setelah Ia pergi, aku kembali dirundung kebingunan. Ingin sekali mempertahankan prinsip ini. Ingin sekali tetap menjaga diri agar tetap begini. Tapi bisikan-bisikan itu seolah membuatku merasa takut terhadap sesuatu yang bukan dari-Nya. Kepada manusia yang bahkan bukan siapa-siapa.

Goncangan itu kuat sekali. Aku rapuh untuk berdiri sendiri. Aku berpeluh dalam keraguan pagi itu. Aku mengadu harus bagaimana semestinya ini.


Dan saat itu kawan, aku hendaknya mengingat apa yang telah tertanam 18 tahun lamanya itu.

Sementara tanganku melepaskan sematan kain itu, ada air yang menetes dari sudut-sudut mataku. Seolah semua semestinya tak harus berjalan seperti ini. Aku masih ragu saat memasukkan kain itu ke dalam tasku. Selepasnya, seolah aku  tak mau berdiri menantang dunia atas kekeliruan yang telah terjadi padaku ini.

Tak beberapa lama kemudilan aku melihat Sabila. Seolah mendapatkan titik terang, aku berlari menuju ke arahnya.

“Sabila, kamu mau pakai rok?”
“Sebenarnya celana trainingku masih di Ina. Tapi aku juga bingung...”
“Mau nggak izin sama panitianya?”
“He’e wes. Aku berani kok.”
“Tapi ntar kalo ditanya alasannya, jawabnya apa dong?”
“Prinsip.”

Jawab Sabila lugas dan mantap. Aku tersenyum, seolah benar-benar menemukan orang yang sama. Dan fondasi ini seolah terasa mengeras kembali. Menguat kembali.

Kami pun buru-buru menemui seorang korlap (Koordinator Lapangan). Sejenis tatib atau amn.
“Kak, kami boleh pakai rok? Tetap pakai training kok di dalemnya.”
Kakak korlap itu terdiam sesaat.
“Boleh,” jawabnya singkat dengan mimik khas seorang korlap. Tampaknya Ia juga "mengapa".

Aku sumringan tak terkira. Buru-buru kami mencari tempat tertutup. Aku untuk memakai rokku dan Sabila memakai trainingnya dengan tanpa melepas roknya. Dan, ketika Allah menghendaki, di sana pasti ada jalan. Pasti ada!

Dan jadilah kami, dua di antara lima ratus orang yang memakai celana training. Mungkin kami minoritas. Mungkin orang akan melihat aneh kami, yang menurut mereka tak sesuai dengan ketentuan. Tapi biarlah. Karena memang seharusnya semua berjalan seperti ini.

Padahal ini hanyalah hal yang sangat sepele. Tentang mau atau tidaknya kita memperjuangkan prinsip kita. Rela atau tidaknya kita saat diminta melepas identitas diri.

Hari ini pun akhirnya usai.
Aku kemudian akan kembali berjalan sendiri, sampai akhirnya menemukan kawan kembali. Menempuh ospek urusan yang tak kalah besar tantangannya. Ya. Aku dan Sabila pun berpisah untuk sementara ini dikarenakan perbedaan jurusan. Aku masih ingat  apa yang dikatakannya padaku siang itu.
"Aku takut nih, kalo nggak ketemu akhwat di sipil..."
Pernyataannya persis dengan apa yang aku pikirkan.

Lagi-lagi Allah hendak menguji kami. Lagi dan lagi.


Terima kasih Sabila Rahmatika, Alumni Husnul Khotimah J

You May Also Like

0 comments