#Puisi 6 : Sajak-Sajak Dermaga

by - Februari 05, 2015

 SAJAK-SAJAK DERMAGA

Camar kalap menari-nari
Mencambuk mentari dengan bilah cemeti
Dan humus pun kembali menggelayut sepi
Menyisakan gincu di bibir tak bertepi
Dermaga kini rapuh,
Digebu ombak kekarang runtuh
Acapkali tuan kerap mendayuh
Ilalang air perlahan lepuh
Agaknya peron tua lupa mereka sedang bersimpuh
Dermaga kini sepi,
Sendawa anak ikan tertinggal di sela fondasi
Pilarnya pergi menggendong sejuta mimpi
Menyisakan luka yang nganga tak henti

Dermaga kini sunyi,
Menghapus biduk cinta berpasang sejoli
Mengambil tawa tengil-tengil yang berlari
Mengetik ulang sekian drama melodi
Tapi,
Pasir pantai tak lagi jadi Srikandi
Dermaga kini menangis,
Dalam sendunya yang terbawa arus
Tersisa rona yang tak lagi jelas
Puing luka sudah membekas
Tak kembali, tak berbalas
Dermaga kini menua,
Tapi sajak merah-jingga tak kan kembali ada


Raja Ampat, Papua

Agaknya kita lebih sering lupa. Seruni-seruni yang tak dijaga keperawanannya. Dibiarkan terjamah ternoda, tapi tak diobati lukanya. Mereka adalah bakal-bakal untuk dicinta.

Kadang kita senang berkutat dengan polemik pemerintahan negeri ini. Menguak sekian misteri dan beradu fakta tentang kebenarannya. Benar, perilaku ini baik adanya. Karena kini, kita tak lagi berada di posisi yang hanya mencecap dokumentasi.  Akan banyak yang turut nyemplung menilik fakta. Tapi tak sedikit pula yang menjadi pengamat beralibi mencerdaskan sejawat. Tak apa. Usahamu baik adanya.

Bagaimanapun teatrikal drama yang terpentas di antah berantah bumi tercinta nyata adanya. Tinggal bagaimana memintai kata agar cikal penerus tetap cinta bangsa. Tentang semua realita, tanpa ada permainan kata. Tanpa menafikkan sekian problematika yang selalu renyah untuk diusung dan dibahas. Begitulah proses. Menjadi lebih baik memang keinginan seluruh tonggak negeri ini. Dan negeri ini kaya akan inspirasi muda-mudi yang mungkin belum sefaham dan sebahasa. Proses mengkritik itu penting. Karena dengannya, perbaikan bisa perlahan terwujud untuk menciptakan esensi kesejahteraan. Duduk di kursi pemerintahan memang getir. Akan lebih banyak cacian daripada pujian. Tapi begitulah nikmat bagi abdi yang telah mewakafkan jiwa raganya untuk negara. Kiranya perihal ini pembaca lebih ahli dari pada penulis.

Nah, lalu dari sudut para pengoreksi. Kesempurnaan akan selalu menjadi tuntutan. Tapi setelah menghujamkan permintaan perbaikan adakah kita ingat tentang sebuah kewajiban? Bukankan abdi-abdi masyarakat ini wajib didoakan? Ikhlas dan mendoakan, menghormati dan memuliakan, mendengar dan taat, menyampaikan nasehat dan mengingatkan, membela dan membantu. Kiranya itu adalah poin-poin yang pernah penulis baca mengenai adab kepada pemimpin. Lihatlah, poin mengingatkan memang jelas dipaparkan. Tapi ada juga kewajiban mendoakan yang mungkin lebih sering luput. Lebih jarang ditengok daripada poin mengingatkan.
Tengoklah, pertiwi ini begitu kaya. Bukan pengalih perhatian atau semacam aksen penghias drama. Mereka adalah bakal benih untuk dicinta. Agaknya telinga anak cucu teredam oleh zamrud katulistiwa ini. Siapa lagi yang akan menjadi pemerhati? Jika sekian juta nyawa hanya fokus pada dunia koreksi dan lupa pesona negeri. Siapa yang akan menjadi bakal pecinta negeri? Jika sekian juta nyawa sibuk mengkritik kelabu politik dan lupa cecorak warna negeri. Agaknya perlu kita sematkan dalam akhir cerita panjang mengenai negeri ini. Tentang pesona yang berlenggok di sepanjang ribuan pulau yang bersatu. Mereka juga butuh dicinta. Karena ketika negara-negara hidung belang melirik Srikandi Indonesia, tamatlah permata itu. Bahkan menariknya kembali akan menjadi sesuatu yang teramat pelik. Saat luka sudah tergores di kulit srikandi, mengobati tak berarti menjadikannya cantik kembali. Ini pesan penulis di ujung tulisan ini.


Ingatlah, “Bentang alam ini tak hanya berhias debu belaka.”

You May Also Like

0 comments