Kecelakaan Memaknai : Puisi 3 Dimensi

by - Januari 29, 2017

Puisi, terkadang dipilih sebagai salah satu cara untuk merepresentasikan makna lewat keindahan kata. Jika diingat lagi perkembangannya dari jaman dahulu, mulanya puisi sebatas larik dengan rima-rima tertentu. Ahh, kini makin beragam rupanya. Setelah beberapa orde berlalu, kiranya bungkus ‘kontemporer’ lebih melekat untuk bisa dinikmati semua orang. Anggaplah semua orang berhak menjadi pujangga, tak hanya tokoh-tokoh macam Ismail Marzuki, WS Rendra, Sapardi Djoko, dll yang sajak-sajaknya boleh menggema antara. Tentu semua orang berhak bersajak dengan gaya kekiniannya masing-masing.

          Puisi, tak semua orang bisa mengapresiasinya sesuai yang dimaksudkan penyair. Terlebih dengan keragaman gaya bersajak tiap orang yang berbeda-beda. Apa yang difisikkan penyair bisa jadi dimaknai secara beragam. Tentu itu adalah ‘hak’ pengamat sebagai objek pembaca puisi. Ada hal yang menarik di sini bagi saya (walaupun penulis juga tidak luput dari kedangkalan ilmu tentang hal ini), yaitu penyair dapat menyampaikan makna dengan sajaknya yang ‘indah’ atau saking indahnya makna dalam puisi itu justru tidak bisa dimaknai. Hmmm. Orang hanya terpana bungkusnya tanpa tahu isinya. Bahkan, penyair sendiri pun bisa terpeleset dengan terlalu memperindah bungkus tanpa memasukkan makna.

          Tapi sebenarnya bukan tentang itu yang ingin saya utarakan. Kecelakaan memaknai dalam puisi ini saya temukan juga dalam dunia arsitektur. Bangunan berdiri bukan hanya atas sebuah permintaan rancang bangun. Arsitektur tidaklah sesempit mengenai ilmu bangunan saja. Memahami arsitektur pun diiringi dengan memahami ruang yang hidup di sekitar bangunan itu sendiri. Seperti sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik. Hal ini yang terkadang tidak mudah ditangkap oleh pengamat atau pengguna objek arsitektur. Sama seperti puisi bukan? makna yang ingin disampaikan oleh sang arsitek tak jauh beda dengan makna yang ingin disampaikan seorang penyair pada pembaca. Terlepas dari gaya merancang bangun yang beragam, nilai yang ingin disampaikan arsitek tak sampai pada objek.
          Fisik pada arsitektur sama halnya dengan kata dalam puisi. Keduanya adalah hal yang ditangkap oleh indera yang kemudian diteruskan sehingga menimbulkan suatu presepsi tertentu. Saya setuju bahwasanya keberadaan fisik bangunan dan kata dalam puisi adalah citra yang harus ada dan merupakan wajah daripada karya itu sendiri. Citra tak mungkin lepas dari objek arsitektur, sepertihalnya kata yang tidak mungkin tidak tercantum dalam puisi. Mungkin ada khalayak yang memisahkan antara wajah karya dan makna yang ingin disampaikan didalamnya. Citra karya yang dianggap indah, memang sengaja dihadirkan sebagai sesuatu yang dapat dinikmati atau dikagumi oleh indera. Sedangkan makna atau isi karya adalah perihal yang terlepas dari ‘keindahan’ dalam karya. Akan tetapi bagi saya, keindahan itu justru bernilai lebih dan lebih jika pengamat juga dapat menangkap keindahan itu secara sepaket. Sepaket? Ya, keindahan yang memang diciptakan untuk dirasakan pengamat dan keindahan yang terkadang hanya dimiliki oleh pembuat karya. Keindahan milik pembuat karya yang dimaksud adalah makna yang ingin disampaikan lewat karya tersebut. Keindahan yang diketahui oleh pembuat karya pasti lebih dari sekedar keindahan yang hanya ditangkap oleh objek pengamat.

          Sayangnya, bahkan mau merasakan keindahan yang sepaket, memaknainya yang citra saja terkadang masih keliru. Memang tidak akan langsung tepat dan sepenuhnya benar menangkap ‘makna’ yang ingin disampaikan dalam objek arsitketur. Boro-boro dapat mengetahui maknanya, terkadang pengguna bangunan adalah objek makna itu sendiri, sehingga....yaaa... kita tidak menyadarinya. Singkat cerita, puisi dan arsitektur bagi saya adalah hal yang mirip. Dalam KBBII,
           Pu.i.si : gubahan dlm bahasa yg bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus;


          Bedanya, puisi adalah gubahan bahasa sedangkan Arsitektur merupakan gubahan massa dan ruang yang ditata. Kecelakaan yang kerapkali dilakukan saat mengapresiasi puisi alangkah baiknya tidak dibawa-bawa saat mengapresiasi objek rancang bangun arsitektur atau sebut sajalah puisi 3dimensi. 


You May Also Like

0 comments