Melipat Jarak

by - April 30, 2018

Saat itu aku sedang duduk di kamar yg wifinya mati dan dalam keadaan kenyang, tentu karena sudah makan. Beberapa menit lalu, dg kerabat2 yg pernah susah senang dalam satu atap kosbin selama 24 bulan. Setelah 2 tahun di sana aku pindah ke kos FT. Jika dutanya sering bertemu tidak dg mereka setelah itu? Tentu, jarang sekali. Terlebih fakultas kami yg letaknya berbeda, di depan dan belakang. Tapi sesekali kami bertegur sapa jika bertemu di persimpangan manapun.

Baru tadi kami bertemu lagi dalam jumlah yang cukup banyak. Bukan seperti orang papasan di jalan. Entah alasan apapun itu, akhirnya aku diajak utk shalat ke kos mereka yg baru. Baru? Ya, saat aku pindah berbarengan dg keputusan mereka untuk pindah bangunan. Padahal jarak kos baru kami terbilang dekat. Rutinitas masih sama seperti saat aku tinggal di sana, meskipun bangunannya berbeda. Setelah selesai mengaji kami lalu makan, mengobrol dan kenyang. Menarik sekian banyak adegan kebaikan yang pernah dilakukan bersama. Lalu terbersit, "Kenapa tidak sedari dulu untuk lebih sering bersua?"

Pertemuan tak lebih dari 2 jam itu kuringkas dalam dua kata, melipat jarak.

Ya, kalau kata Sapardi Djoko damono, melipat jarak. Kita hidup dalam perjalanan, berjalan dari satu pos ke pos lain. Dipertemukan, atau dipisahkan dg seseorang. Di manapun tempatnya, di manapun waktunya. Pada akhirnya di suatu kurun waktu, kita terpaksa pergi.

Atau, tidak pergi tapi lupa kita pernah di pertemukan dg seseorang pada suatu momen, yg barangkali kita pernah begitu berharga, punya tujuan yang sama.

"Kita sudah tidak satu sekolah", katanya.
"Kita sudah tidak satu kota",
"Kita sudah tidak satu kelas",
"Kita sudah tidak satu kos",
"Kita sudah beda urusan",
"Kita sudah beda organisasi",
Barangkali tanpa sadar kondisi-kondisi itu terpaksa membentuk kebiasaan baru bagi seseorang. Pada saat itu, bisa jadi kita sedang merentang jarak.

Apa jangan2, kita termasuk di dalamnya, tapi tidak sadar?

Jadi sebenarnya siapa yang membuat jarak?
Apakah yg selalu menutup pintu?
Apakah yg selalu menolak temu?
Apakah yg menenggelamkan chat?
Apakah yg enggan menyapa?
Atau apakah kita yg terlalu takut dan enggan untuk mendekat?

Mengapa pada akhirnya kedekatan itu tidak sama lagi? Sering menggunakan kacamata bahwasanya diri adalah objek. Merasa ditinggalkan, merasa tak diajak. Tapi, hey! Kita juga seorang subjek. Adalah keputusan masing-masing untuk mau terus menjalin ukhuwah itu, atau menghentikannya begitu saja.

Dipos kehidupan manapun kita bertemu seseorang, mari jaga ukhuwah itu. Lalu bertemu di surga.

Bukankah ukhuwah tak mengenal kesudahan?
Bukankah seharusnya di dalamnya hanya ada rasa cinta?
Saling menyapa di antara kesendirian yang melelahkan, lalu saling menjaga dalam keistiqomahan.




Karena saat ikatan kita melemah ,saat keakraban kita merapuh saat salam terasa menyakitkan saat kebersamaan serasa siksaan, saat pemberian bagai bara api, saat kebaikan justru melukai. Aku tahu, yang rombeng bukan ukhuwah kita
Hanya iman-iman kita yang sedang sakit, atau mengkerdil. Mungkin dua-duanya,mungkin kau saja Tentu terlebih sering,imanku lah yang compang-camping #DDU


www.pinterest.com

You May Also Like

0 comments