Tentang Air

by - Desember 11, 2017

Malam ini rintik hujan mengetuk-ketuk bumi Surakarta, cukup sekiranya untuk membuat suasana syahdu antara dua adzan yang menutup malam. Cukup untuk membuat rasa tenang mereka yang gelisah menunggu balasan direct messagenya sebelum waktu tak lagi menghendaki. Cukup untuk membuat dag dig dug mereka yang menunggu kedatangan seseorang sebelum rintik semakin melarang kehadirannya. Cukup untuk menyembunyiakan air-air yang turun melewati pelipis wajah, yang barangkali justru semakin deras senada dengan hentakan hujan di malam yang kian larut. 

Andai saja, air yang turun waktu itu tak mau menuruti perintah penciptanya. Andai saja ia keluar dari kodratnya sebagai sesuatu yang bukan selain manfaat. 

Bila saja.... hanya bila aku tercipta sebagai air, yang sejatinya setiap hadir dan sifatnya tak lain adalah kebaikan.

Bilamana aku adalah air yang peka nalurinya, barangkali murottal quran sudah cukup membuatku menjadi orang hanif ketimbang lagu-lagu korea, rock, pop, atau mozart sekalipun yang lebih sering berdengung di kedua gendang telinga. Cukup kiranya kata-kata yang baik menjadikan air dalam diri mentransformasikanku bergerak tidak lain hanya pada kebaikan.

Bilamana aku adalah air yang lentur sifatnya,  kiranya tak ada tua-muda, adam-hawa, intelek-pryai, hingga moderat-tukang rosok yang tak mau bergaul denganku.

Bilamana aku adalah air yang sejatinya kuat, kiranya selalu ada kekuatan yang tak pernah memadamkan ketaatanku pada-Mu.

Bilamana aku adalah air yang sejatinya jernih, tak mungkin ada setitik debu yang mengkeruhkan gerak amalku selain hanya pada-Mu. Kiranya tak ada bias air yang mengombak, tetap tenang sebagaimana mestinya kala kumengaca padanya.

Bilamana aku adalah air yang tak pernah lelah bergerak, selayaknya fitrahnya tiap kehadiranku, sentuhanku, liku dan sudut yang kulalui menjadikan sesuatu lebih baik, dan dari lebih baik menjadi lebih lebih baik lagi. 

Bilamana aku adalah air yang lembab rasanya, sekiranya pelipis tak pantas sekering ini dengan kehinaan yang kumiliki, namun Ia tetap menjadikan aku ada dalam lindungan-Nya. 

Bilamana aku adalah air yang dingin sentuhannya, semestinya tak ada barang satu maksiat pun yang mendekat bahkan mendaging di pikiran, kaki, tangan, dan hati yang terus bergerak.

Bilamana aku adalah air yang senantiasa berarak ke tepian-tepian terendah, tak mungkin kaki hati ini justru mencari tepian-tepian tinggi di atas kepala dan hati yang seluruhnya berlomba merendah mencari muara laut.

Bilamana aku adalah air penghidupan, selayaknya tak ada ucapan yang memadamkan ghirah, tak ada tatapan yang melipat senyuman, pun tak ada langkah kedatangan yang dihindari batu yang sedari tadi duduk di sana. Gemersiknya dari kejauhan adalah yang dirindukan, pandangan teduhnya yang menenangkan mengajak menerawang jauh  ke depan, hadir di antara buntu dan gelisah. Setiap abata yang keluar dari gemertak giginya mengguncang hati-hati yang ketakutan di kegelapan. 

Bilamana aku adalah hamba yang menyadari fitrahku. Kiranya setiap hembus nafas dan detak jantung penghidupanku selalu mengantarkanku mendekat pada yang berhak. Geraknya tak lain tercipta untuk kebermanfaatan umat.

You May Also Like

0 comments