Tentang Hafalan : Sendirinya Tak Pernah Membuat Sempat

by - Juli 06, 2018

Iktikaf Ramadhan di kampus
       Jam 14.40 siang tepatnya. Saat ini saya sedang duduk selepas setelah membaca-baca tulisan beberapa kawan saya, yang Allah anugerahi mereka untuk jatuh cinta pada Al-Quran, dengan demikian palungnya. Menyematkan ayat-ayat lebih lekat. Memperjuangkan keterikatan, memesan sepasang mahkota yang harap-harap bisa dihadiahkan pada kedua orang tua nanti. Umur bukan alasan, apalagi kesibukan yang sering dikambing hitamkan. Toh, kalau kesibukan yang kamu miliki itu adalah kebaikan di jalan-Nya, bukannya seharusnya semakin mudah? Kalau dua kegiatan ini sama-sama kebaikan, rasanya tidak mungkin keduanya saling meniadakan. Kalau benar dua aktivitas ini dianggap sebagai kebaikan, maka seharusnya mereka saling menguatkan. Bukankah begitu logikanya? Yah, kecuali membaca Al Quran atau menghafal ini dianggap sebagai beban. Maka kemustahilan adanya.
       Layaknya seorang anak yang ingin berbakti kepada orangt uanya, maka menghafal Al Quran adalah salah satu cara tak langsung yang bisa kurakit. Harap-harap anaknya yang penuh dosa ini masih bisa memesan keselamatan untuk mereka di akhirat nanti. Saat masih duduk dibangku SMP, salah satu cara paling jujur yang kuyakini untuk memperbaiki dan menjaga diri adalah dengan dekat dengan Al Quran. Jadilah waktu-waktu setelah itu hingga menyelesaikan bangku SMA(N) khatam hafalan menjadi salah satu cita-cita yang harus kuwujudkan.
         Tersebutlah sebuah Al Quran terjemahan berwarna biru yang menemaniku. Kalau saja memiliki saingan partner menghafal, biasanya saya akan lebih terpacu, haha. Setidaknya kala itu ada kawan yang saling menyemangati dan mengingatkan. Berbeda dengan lingkungan semasa SMP yang notabene adalah sekolah Islam Terpadu (IT), SMA(N) ku meskipun sama-sama boarding tapi tentu berbeda dengan lingkungan sekolah IT. Beruntungnya Allah pertemukanku dengan Muthi, Ola', dan Halimah. Setidaknya tiga orang ini membantu saya buat tetap istiqomah. Jadilah begitu kami giat di sisa dua tahun terakhir kami di bangku SMA(N).
       Saya amat menyukai masa-masa itu, duduk di tepian masid semenjak senja menuju maghrib. Atau menyendiri di antara waktu maghrib hingga adzan isya. Setiap dudukku di sore itu, seolah-olah masjid yang kutempati berbisik, "Ayo bismillah, pasti selesai". Kalau diingat-ingat, sesekali saya menangis karena rupanya ini tidak begitu mudah. Melihat teman-teman begitu lancar dan bagus melantunkan ayat-ayat. Saya mah, boro-boro. Sudah nambah setengah surat baru, surat lama jadi terbata-bata. Tapi terima kasih. Di dua tahun terakhir itu saya lulus murojaah hafalan yang sedikit saya punya, dan menambah beberapa juz. Meskipun waktu itu tengah menuju ujian akhir nasional, kalau saja saya menyerah dengan Al quran, barangkali Allah juga tak akan memberi keberkahan kelulusan. Yah, itu sebuah bonus rasa batin tersendiri bagiku.
kamu yang baru, mimpiku masih sama
     Menginjak bangku kuliah, ada seribu alasan rasanya yang membuatku pesimis untuk menggenapkan cita-cita itu. Jadilah partnerku (al quran biru) Allah ambil. Ambil? Ya. Sekitar setengah tahun yang lalu saya rasa, dia hilang tanpa saya sadari. Barangkali saya berhak dicemooh karena keteledoran ini. Sekelas Al Quran saja hilang. Barangkali begitu cara-Nya supaya Al Quranku tidak lama-lama kudzolimi. (Saat itu saya memiliki dua Al quran, dan si biru lebih jarang kusentuh apalagi untuk menambah hafalan). Bisa jadi Allah sedang mengaturnya agar dipertemukan dengan partner yang lebih mencintainya. Dan saat keinginan untuk menggenapkan hafalan itu tiba-tiba membuncah kembali, kau tahu rasanya? Kehilangan di waktu yang amat tidak tepat. Hukuman sekaligus ujian bagiku. Hafalan yang seperti merkan al quran itu, tidak bisa tidak kalau bukan dengan al quran yang biasanya. Karena bukan metode tasmi' yang saya gunakan, lebih pada visual sekaligus menghafalkan tata letaknya. Mau tidak mau saya harus mencari al Quran baru yang ada terjemahnya. Buat saya lebih nyaman untuk menghafal dengan tahu artinya. Dan dimulailah ekspedisi pencarian jodoh. Sebab milih al quran mirip seperti milih partner, hafalan maksutnya. Sampailah pilihan mendarat pada Al quran berwarna hijau army. Dan mau tidak mau, saya harus membuat rekaman visual baru di otak saya. 
       Saat itu saya bilang pada Al quran baru saya. "Mulai dari nol yaaa....Harus ta'aruf dulu buat merekammu dari tiap lembar-lembar yang amat baru. Mungkin akan menemui pelik, atau bahkan harus menata ulang rak-rak dokumen di kepala. Tapi tidak boleh tidak. Anggap saja ini suatu alasan untuk memperbaharui ingat. Yang pernah begitu dirindukan pada pertemuan di tepi-tepi masjid saat senja menuju maghrib."

Sumber : @localblast.id
       Setelah kejadian ini sekilas saya teringat sebaris kata-kata milik sebuah produsen creative notebook, @localblast.id, yang terkenal dengan kata-kata nyentriknya. Begini katanya "Jangan tanya kapan, karena pasti akan". 
       Kata-kata mereka memang ada benarnya. Tapi setelah berbagai hal yang baru saja saya lalui untuk mencapai genapnya hafalan, saya kira ada frame baru yang harus saya tanamkan pada diri saya sendiri. 
"Jangan tanya lagi kapan selesai. Karena barangkali kita tidak pernahsampai menuju 'akan' karena sendirinya tak pernah membuat sempat".



Bismillah


Aisyah N Izzati,
Citizen Journalist.

You May Also Like

0 comments