Temajuk #01 : Perjalanan Menempuh Tujuan

by - Desember 07, 2018

{ Hari Pemberangkatan - Kamis, 11 Januari 2018 }


5.50 aku masih memerlukan beberapa persiapan terakhir menuju pelayaran. Pagi itu sedikit berkutat dengan laptop dan desain pamflet sebelum akhirnya naik cetak lalu ditinggal. Sedikit riweh dengan pemadatan waktu dan serba kurang. Masih ke sana ke mari mencari tempat print kopi lihai ala anak mahasiswa yang biasanya gampang ditemui di sekitaran kampus. Terhentilah rem motor ke warung internet yang biasa jadi tongkrongan bocah-bocah sekitaran Ambartawang main game. Aku meninggalkan file untuk kemudian kembali menata tas koper.

11.30 Memacu sepeda motor dibonceng abi. Turun diperempatan lalu menyebrang dan berjalan sedikit ke depan pabrik kertas yang sudah tua. Sepuluh, sebelas, dua puluh bis lalu lalang sampai akhirnya jam 12.30 bis damri berteriak-teriak dari jauh memanggil kami dengan klaksonnya. Naiklah abi, umi, dan aku tentunya menempuh satu jam perjalanan menuju bandara adi sucipto Yogyakarta. Yang mana kawan-kawanku sudah berangkat dari Solo naik mesin panjang yang seperti ular itu.

16.30 seharusnya sudah naik mesin terbang. Tapi kami masih berduyun-duyun membawa koper bertroli-troli antri untuk check-in seperti orang habis kena bencana saja. Ribet sekali ke sana kemari. Sebentar menggelepar sembarangan karena capek. Bapak dosen selaku pembimbing KKN sempat mojok sedikit lalu membuka laptop dan mengunjungi situs siakadnya. Maklum minggu ini minggu terakhir input nilai. Wajar saja, salut. Scanning barang terakhir pakai insiden barang susulan segala pula. Gunting dan pupuk EM4 harus dilarikan ke barang-barang yang nanati di simpan di bagasi. Dua manusia, Damai dan Alex yang nggak rampung-rampung kembali dari toilet cukup membuat rombongan dag dig dug.

17.00  itu pertama kali aku naik pesawat. Untung dekat jendela. Bisa lihat miniatur rumah macam maket yang sering kita bikin, katanya. Bisa sedikit cekrik-cekrik awan kalau sudah sampai di atas. Atau sedikit berkabar ke khalayak manapun bahwasanya aku sudah pernah ada di langit-langit sejajar dengan awan. Menyapa matahari dan orang-orang di bawah, kalau dengar, seperti yang kami lakukan saat kecil kalau ada pesawat lewat. Semua sudah naik. Badan pesawat  mundur sedikit lalu berputar ke arah jalur penerbangan. Sembari itu mbak-mbak pramugari berbaju biru dan ber-make up tebal memeragakan cara memakai safety seat walaupun yakin pasti ga keliatan sama yang duduk di paling belakang. Yang duduk di dekat jendela pun lebih milih buat nengok ke luar dari pada melihat tutorial mbak-mbak yang mungkin mereka sudah hapal atau bisa di baca di leaflet yang terselip di tempat duduk masing-masing. Badan pesawat bergetar lebih kuat. Ancang-ancang mau melayangkan besi yang beratnya berton-ton itu. Gila. Mana bisa. Tapi nyatanya begitu, hukum fisika dan manusia cerdas dahulu sudah memecahkannya. Walaupun perlu perlahan-lahan untuk menstabilkan itu, sedikit menukik kanan kiri dan bikin jantungan. Pesawat Nam Air ini kalem juga akhirnya. Ah, benar juga rumah rumah kecil terlihat dari atas. Kecepatan kendaraan yang terlihat melambat akibat hukum relatifitas (?) dibanding yang kami alami di dalam pesawat. Oh begini rasanya melihat langsung, nggak cuma dari rekaman drone MTMA yang suka ditonton di teve.

Jogja dari kaki langit
Sejajar dengan awan

17.10 – 18.30 Mulai nampak bentang awan tipis dan warna biru. Tanda sudah meninggalkan pulau jawa ke sebrang kalimantan. Sesekali juga awan putih penuh dan pancaran cahaya matahari dari sebuah titik jauh. Macam surga saja, walaupun aku nggak tau aslinya gimana. Cekrik-cekrik yang banyak. Buatku ini langka. Begitu pemandangan satu jam awal jadi orang yang berjalan-jalan di langit pakai pesawat. Setengah jam terakhir kira-kira sudah memasuki pemandangan awan dengan latar belakang hijau. Sudah masuk kalimantan sepertinya. Jarang sekali jarak antar rumah. Lebih banyak hutan atau apapunlah itu yang warna hijau-hijau dan amat sangat luas. Pun terlihat kelok-kelok sungai berwarna coklat nan banyak. Seperti cabang akar yang menusuk dan menyebar ke tanah, tapi horizontal. Lalu sedikit banyak cahaya kuning terlihat. Kami mulai masuk kota sepertinya. Cahaya itu makin banyak dan rapat. Ada yang tidak tertata, ada yang tersebar. Mereka amat brepedar sehubung hari juga sudah mulai malam. Indah. Sumpah. Seperti menonton bintang, tapi ini dari atas.  Kalau itu langit dan bintang. Sepertinya itu pemandangan terapik yang pernah kulihat pakai kedua mata langsung. Sebab cita-cita memandang aurora dengan mata telanjang belum kesampaian, barangkali saat ini aku sedang nyicil. Seperti melihat langit dari dekat, dari puncak gedung pencakar langit tertinggi yang hampir mau menyentuh langit.
Kota pontianak menuju maghrib
Tidak afdol jika tidak absen, Bandara Supadio

18.30
sampai juga di tanah orang, Kalimantan. Kami turun paling terakhir biar seperti sapu jagat penumpang pesawat. Setelah mencari dan mengumpulkan barang-barang kami istirahat sebentar, duduk dan nge-charge hp. Ada yang sembari ma’tsruratan, ada yang duduk bersebelahan tapi ndak ngobrol sama sekali, sibuk sama hp nya. Ada yg sibuk cekrak-cekrik sana kemari dan ada pula yang melepas kesepian pakai karokean.  Sesekali mencari minum buat membasahi tenggorokan. Tapi nggak ada warung atau indomaret. Adanya malah mesin kotak yang bisa makan uang, muntahin minuman botol dan nggak ngasih kembalian. Ini mesin seperttinya nggak akan pernah rugi. Satu botol air mineral dihargai 5000 rupiah, kawanku yang kurang beruntung beli di toko malah mendapat seharga 11.000 rupiah, yang kalau kita beli di warung samping kosan di solo cuma 2000 rupiah. Bisa dibilang aku lebih sedikit hemat karena beruntung memilih beli dari  mesin ini. Begitu kira-kira cara kami menunggu jemputan bis yang akan membawa kami ke Sambas jam 21.00 nanti


21.10 Katanya bisnya sampai. Buset. Seperti bis rukun sayur yang sering lewat Solo-Tawangmangu. Apa kuat? Apa muat? Ada setidaknya 200kg lebih bawaan kami. Belum dihitung berat badang kami yang numpang naik kemudian. Tapi ajaib, semua koper dan barang masuk juga. Tinggal manusianya. Sedikit dijejal dan sepertinya harus menahan agak cape karena kakinya tidak bisa selonjoran. Malam sudah semakin larut, jadi kami memutuskann untuk diam dengan cara tidur dan sedikit digoncang-goncang di dalam bis ini.


{ Hari 02 - Jumat, 12 Januari 2018}

03.20 Sudah sampai Sambas. Tidak terasa perjalanan selama 6 jam itu. Jelas, kami tidur. Bis berhenti masuk ke halaman masjid, kami menurunkan barang dan istirahat sebentar saat beberapa menit kemudian terdengan suara adzan dari balik mimbar. Ada yang sudah kegatelan keringat dan keburu mandi dini hari. Ada yang tidur di pojokan.

06.00 sedikit tunggu menunggu tapi kok lama juga. Katanya bis akan jemput dan ganti lalu melaju ke Temajuk, tapi tak kunjung datang. Pop mi yang dijatah buat sarapan di kapal di simpan saja akhirnya, Gilar dan kawan KKN sebelah bertemu lalu ditemaninya mencari makan. Sarapan kami dengan nasi kuning. Tak jauh beda rasanya dengan lidah jawa.

08.20 atau lebih, aku lupa. Bis yang mau pengganti tak datang-datang menjemput. Malah katanya kami yang harus berangkat berganti ke gudang. Kata empu agensi bis dicarikan mesin yang lebih kuat buat perjalanan tempuh temajuk nanti. Sampai di gudang, walah. Sama saja rupanya. Pikiru ini tak jauh beda dengan sebelumnya, mana? Hanya saja yang baru terlihat koper-koper mulai dibungkus sejenis mantol hijau di atas bis. Jadi kami lebih leluasa di dalam dan nggak perlu capek-capek melipat kaki. Sopir pun masih sama. Tapi kini kami dikawal satu makhluk lagi. Truk. Buat pendamping perjalanan katanya. Kalau-kalau ada yang lemah buat saling tarik ulur, eh. Dilanjutlah perjalanan menuju penyebrangan pertama, 4 jam katanya. Dan di jalan kami dibelikan rambutan sama pak supir yang beli di pinggir jalan sewaktu banyak orang yg sedang panen. Makasih lho pak, tau saja kami lapar.

10.00 sudah mulai masuk pedesaan. Jalan makin buruk dengan tanah sedikit gambut. Rumah-rumah dengan arsitektur panggung dan sebaran taman di sekelilingnya berjajar di sepanjang jalan. Aku suka melihatnya. Manusia dan alam yang saling beramah tamah. Tapi aku lupa nama desanya. Saat itu, tiba-tiba bis berhenti. Lama sekali. Kukira pak supir mau permisi ke truk di depan supaya kami bisa lewat. Tapi pak supir malah duduk-duduk di gubuk. Ternyata ada truk yang selip jauh di depan. Jadilah antrian bis dan truk memenuhi sepanjang jalan itu sampai akhirnya salat jumat pun menyambut lebih dulu. Waktu itu saat laki-laki pada solat, kesempatan buatku naik ke atas bis. Sejajar dengan koper-koper yang dibungkus kain hijau buat melihat keadaan sekitar. Hah, bagus, tapi jadi takut turun, apa di atas saja? walau akhirnya turun juga. Setelah kurang lebih 2 jam akhirnya truk selip bisa terangkat, kami jalan juga. Sampai ke dermaga, dan sudah disambut sedikit gerimis.
Kapal sudah datang katanya, kami pun naik ke atas buat menyebrang ke sebelah. Di dalam bis tentunya. Lalu keluar lihat pemandangan karena boleh sambil jalan2. Penyebrangan yang diceritakan selama satu jam kusadari cuma perasaan. Sak nyut. Sepertinya Cuma 10-15 menit malah. Sebentar sekali foto di atas kapal, dan sedikit mengganggu kabin nahkoda karena beliau juga sudah mengizinkan dirinya untuk diganggu, hhe. Turun dari kapal kami lanjut menuju penyebrangan kedua.

14.30 ini juga tidak lama. Tapi nampak amat sepi ketimbang dermaga kapal sebelumnya. Cuma ada warung satu yang akhirnya kita buat seduh pop mi di sana. Dermaga yang menghantar ke tepian-tepian sungai menggoda untuk ditelusuri. Sisanya, yang  kelaparan menyeduh mi dan minum es. Baru saja mie ku jadi, sudah dipanggil. kapal sudah datang. Duh, padahal katanya masih jam 5. Ya sudah, alhamdulillah. Kapal yang sepi dan bertingkat ini lebih keren buat memandang sekitar, juga pemandangan rawa-rawa dan sungai di sekitaranya. Seperti di amazon saja. Turun dari kapal. Wah, makin dekat saja ni. “Masih 6 jam”, celetuk pak sopir. Hah? Lama kali
 
Akhirnya jalan-jalan aspal berlubang yang kami temui sepanjang jalan Pontianak Sambas mulai menghilang. Kukira akan banyak tanah-tanah pasir. Tapi tidak. Seisi bus terkaget kenapa truk pendamping kami berhenti. Ada kubangan lumpur besar. Licin sepertinya. Ditambah papan penyangga yang sudah mulai gesar geser, menampakkan jeleknya jalan itu. Bisa tidak ya? Semua wajah tegang saat lihat truk melewati kubangan itu. Sampai ahirnya tegangan makin tinggi ketika kita di dalamnya juga menyebranginya.
"Semangat pak! Semangat", sorak kami antara menyemangati pak sopir atau menenangkan diri. Yang jelas hal ini tentu sudah biasa buat beliau. Bis pun bergoyang-goyang. Macam es kocok saja. Akhirnyaaa.... ucap kami lega. 
"Belum neng, baru satu. Nanti di depan lebih banyak dan lebih jelek lagi."
 Apa?!
Kak Dinta dan pak sopir
Jalan berlumpur selepas penyebrangan ke-2

Di jalan lanjutan kami melihat mobil silver yang silep di kubangan. Akhirnya ditolong dengan tali yang ditarik bus. Gonjang ganjing lagi. Gila. Tapi keren. Harus didokumentasikan. Haha, sedikit lebay memang. Tapi ini pasti akan amat berkesan. Aku dan mba Nisa yang duduk didekat sopir ditawarin untuk naik ke atas truk, sepertinya pak sopir ngeh  kita ingin merekam jejak. Tentu saja tanpa ba-bi-bu kuterima tawarannya. Dari pada di dalam bus, angin semilir lebih menyenangkan sekalipun nanti hujan. Akhirnya mas Burhan, Gilar, Damai, Sabila, Sesi, mba Nisa dan aku  naik di truk bis yang sebelumnya sudah diisi oleh Rois dan Syahdan di depan. Tujuannya buat dokumentasi awalnya, sisanya buat cari angin dan lihat pemandangan. Benar saja, jalan-jalan menuju Temajuk selanjutnya makin menggila. Yang di dalam bus panik melihat kami yang digoyang-goyan di atas truk dan macam mau kelempar ke luar. Yang di atas truk panik melihat bus seperti mau kepleset dan tumbang melewati kubangan dengan gesit meskipun sudah dites terlebih dulu dengan truk yg kami naiki. Walapun pada akhirnya di tengah jalan, justru yg selip malah truk yang akhirnya di bantu ditarik oleh bis. Sehabis berhasil melewati kubangan dalam dan panjang terkadang kami bersorak, bertepuk tangan, dan takbir. Keren kali kau pak supir truk, dan kalian yg di dalam bis sana, pasti sibuk komat-kamit. Malahan katanya ada saja yang sempat tidur waktu itu, ngawur. Sepanjang perjalanan jalan itu membuat kami puas terkocok perutnya, ditampar angin, hujan, dan jadi lapar.  Ini bagian yang tak bisa aku ceritakan secara mendetail sehingga kamu bisa mengerti, kau paham kan maksudku? Kamu harus merasakannya sendiri. Sangar.
Memasuki Desa Temajuk, dan perjalanan berlumpur masih menghadang
Momen saat truk selip, pak sopir mengaitkan rantai ke badan bus untuk menarik keluar kubangan
  
17.15 jantung kami sudah lumayan terpacu. Sudah hampir sampai katanya, semoga saja ini benar. Setelah tadi melewati plang papan Temajuk tapi nggak nemu-nemu rumah juga sepanjang jalan. Saat itu di depan kami ada sungai yang terkena pasang air laut. Airnya agak tinggi dan membuat motor-motor mogok saat melewatinya. Ya, kami melihatnya. Pak supir truk turun sebentar buat memastikan ketinggian sehingga terkumpul kemantapan buat menyebrang sungai itu. Bbrrmmm...... Kami nyangkut, selip di tengah sungai. Dicoba buat ditarik dengan bis tapi malah berbelok dan semakin nyangkut. Waktu itu, kami yg berusaha menggoncang truk dari atasnya sampai terlempar sedikit saat bis menarik truk kebelakang dengan tali. Ini sudah bahaya, yang perempuan akhirnya turun dari truk sedikit menjauh ke tepian. Tanah itu katanya tanah gambut dengan sedikit sekali pasir. Jadi memang akan susah membuat roda bergerak. Haha, macam mana ini. Truk pemandu yg lebih ringan dari pada bis saja susah buat menyebrang. Apalagi bus dengan ratusan kilo bawaannya dan manusia yg sibuk komat-kamit di dalamnya. Akhirnya penumpang bis turun, melihat dari seberang. Pun kami penumpang truk juga turun. Melihat bapak-bapak yang sibuk gotong royong buat melepaskan selip roda truk itu. Ya, beruntungnya beberapa warga lewat dan membantu kami. Coba kalau tidak. Menginaplah pasti. Padahal saat itu matahari makin rendah, ditambah gerimis yang sesekali turun lalu deras dan jadi ringan sebentar. Langit sudah cukup gelap dan air mulai pasang. tentunya membuat air sungai semakin tinggi dan semakin sulit bagi kami buat menarik truk keluar kubangan. Ada sekitar dua jam, sambil makan pilus dan bertudung mantol pinjaman teman buat menunggu bantuan. Pukul 19.50an mungkin akhirnya bantuan mobil molen datang dan berhasil menarik angkutan keluar. Termasuk bis yang berencana melaju dulu dan nyangkut juga.
  
Sungai tempat truk terjebak. Sebelumnya ada motor yang nekat menyebrang, akhirnya mesinnya mati juga di tengah sungai. 

20.10
Beberapa menit kemudian kami akhirnya sampai di balai desa. Sudah ramai nampaknya oleh orang tua angkat kami yang katanya sudah menunggu sedari jam 3 sore tadi. Kebetulan dengan kondisi yang capek dan masih gerimis itu, akhirnya untuk menutup malam yg semakin larut, sambutan hanya dibuka oleh pak kades dan langsung dibacakan nama ortu angkat kami, supaya semua bisa lekas istirahat. Yang menjadi teman serumahku adalah Bela dan Pepep, di rumah umak Yuli dan ayah Heri. Malam itu langit masih sedikit gerimis, motor dan mobil pick up melaju dan tak tahu macam apa jalanan yang kita lewati sebenarnya. Rasanya jauh sekali dan tak sampai-sampai ke rumah. Sehabis sampai di rumah Umak Yuli, ada anak berambut kuncir menyapa kami, Dinda namanya. Anak kedua umak Yuli, atau kalau disini disebut ngah Dinda. Makan malam sudah siap rupanya, kami makan dengan ikan asin dan duduk melingkar sambil membuka percakapan, setidaknya perkenalan tiga makhluk yang akan bertengger di rumahnya nanti selama kurang lebih 40 hari. Lepas itu, tanpa mandi. Kami bertiga berangkat tidur.

You May Also Like

0 comments