Kepada Diri yang Suka Berasumsi Seenaknya

by - November 06, 2018

Photo by Ümit Bulut on Unsplash

Tulisan ini berangkat dari beberapa siratan hati (?) yang berputar-putar sendiri di dalam pikiran manusia. Kupikir begitu.

Di sebuah hari setelah cukup ber-haha hehe, akhirnya dia pun bilang, "Dulu aku sudah membayangkan, semakin tua semester pasti semakin sendiri-sendiri. Orang-orang sibuk dengan aktifitas dan tugas akhirnya masing-masing. Kok aku kaya gabut ya? Mau tanya tapi nggak enak, kalau-kalau ganggu."

Lain cerita dengan temanku yang satunya, sebut saja Shofi (nama disamarkan, dari pada nanti diinterogasi netijen) mengutarakan hal yang lumayan serupa.
"Sekarang kan aku ga ikut organisasi apa-apa, ya jelas beda kesibukan sama mereka. Tapi bukan itu juga ding intinya. Kok kaya beda gitu ya sekarang, udah jarang main bareng. Rasanya aku yang excited sendiri ngajak ke sini ke situ. Kadang nek tak lihat pada makan bareng. Rasanya aku yang nggak pernah diajak main, dicariin, bahkan diajak ngobrol. Pernah ngajak pergi tapi seringnya dicancel atau kayak kepaksa gitu, tau-tau pergi sama orang lain. Aku ini ngganggu kali ya? Hhe " katanya singkat, lalu monolog itu Shofi tutup begitu saja dengan senyum getirnya. Seperti isyarat supaya saya yang mendengarnya tak usah menanggapi karena dia mengakhirinya dengan mimik seolah tak terjadi apa-apa. Walau menurutku saat itu, Shofi tak baik-baik saja.


Dan satu lagi sekelibat kalimat yang senada kudengar dari seorang karib yang merisaukan temannya yang tidak pernah mau berdiam satu ruangann dengannya. Singkatnya begini katanya, "Si anu kenapa ya? Kok nggak pernah mau duduk deketku. Aku duduk dia langsung pergi. Gitu terus. Apa aku bikin nggak nyaman? "

Sepertinya saya yang manusia ini pun juga pernah berasumsi hal yang serupa. Atau lebih luas dari itu, manusia itu suka berasumsi seenaknya ya? Padahal belum tentu begitu faktanya. Perasaan itu kan memang fakta, tapi nyatanya perasaan lebih suka berkiblat pada hal-hal yang kita inginkan.
Rasanya kalau fikir kita dibiasakan berasumsi seenaknya, apalagi memposisikan diri sebagai korban sebenarnya sedang melelahkan hati sendiri. Misal saja dengan diri yang selalu terus berfikir seperti  merasa ditinggal, dianggap mengganggu, dan sejenisnya kita hanya akan lelah oleh asumsi-asumsi pribadi yang belum tentu benarnya. Terpenjara oleh dzon-dzon dalam hati, entah itu husnul atau su'ul. Baru sebatas perasaan. Lalu ketika semakin dibiarkan, apa ikatan persaudaraan bisa retak? Ketika ada perasaan pesimis tersebut, hanya ada satu cara, lawan! Jadi, kalau tidak yakin, bertanyalah! Jangan mudah tersinggung  sayang, di bumi ini bukan hanya kamu yang punya perasaan -nkcthi. Barangkali ternyata teman-teman yang dikira telah meninggalkan justru lebih terluka keadaannya dari pada kita. Tapi mungkin mereka selangkah lebih maju untuk melawan perasaan tersebut.

Bukankah ikatan persaudaraan kita lahir bukan dari ikatan darah, tapi iman?

You May Also Like

0 comments