Ruang yang Merawat Kewarasan

by - Desember 29, 2021

Apakah suasana ruang benar-benar berpengaruh dalam mengurangi stress dan perasaan tertekan?

Photo by Nick Shuliahin on Unsplash

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan bahwa keadaan sehat bukan sekedar keadaan tanpa penyakit tapi meliputi keadaan fisik, mental, dan kesejahteraan sosial secara penuh. Sementara itu, untuk mencapai kondisi ini tidaklah mudah terlebih bagi mereka yang memiliki trauma karena mengalami kejadian yang tidak diinginkan. Proses pemulihan sendiri tidak selalu berjalan linier. Perasaan tertekan dan stress masih bisa dialami penyintas bahkan bila kejadiannya sudah lama terjadi. Untuk mencapai keadaan pulih kembali dan berada pada kondisi sehat fisik, mental, dan sosial proses pemulihan harus dilakukan secara menyeluruh.  Layaknya sebuah obat, lingkungan sebagai wadah aktivitas dan ruang hidup utama penyintas perlu dilibatkan dalam proses pemulihan tersebut.

Pelibatan ruang sebagai salah satu pendorong proses penyembuhan menjadi begitu erat karena manusia tidak bisa lepas dari ruang sebagai wadah aktivitas utamanya. Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa sebagian besar waktu manusia dihabiskan di dalam ruangan. Hasil penelitian Brian Diffey (2011) bahkan menemukan rata-rata manusia menghabiskan hampir 90% waktu hidupnya di dalam ruangan. Sebagai konsekuensinya, suasana suatu ruang berpengaruh besar terhadap dinamika kondisi fisik, mental, maupun sosial penghuni di dalamnya. Hal ini memberikan kesempatan bagi kita untuk memiliki kontrol terhadap kualitas ruang dengan menyesuaikannya sesuai kondisi yang dibutuhkan.

Lebih spesifik, keterlibatan ruang dalam memengaruhi kondisi mental pengguna terjadi melalui pengalaman ruang spasial yang dibentuk oleh ruang yang ditempatinya. Seluruh indera manusia bekerja sama dalam merasakan pengalaman ruang tersebut sebagai stimulus pada otak, yang kemudian diproses menjadi berbagai bentuk emosi. Dengan mengatur suasana ruang dan lingkungan maka informasi yang diterima oleh indera dan diproses otak juga akan berubah, begitu pula kebiasaan dan tingkah laku pengguna. Hal ini seperti yang disampaikan Roger S. Ulrich dalam tulisannya, “How Design Impacts Wellnes” bahwa desain yang baik dapat mengurangi stress dan rasa cemas, menurunkan tekanan darah, mengurangi kebutuhan akan pengobatan rasa sakit, hingga mempersingkat masa tinggal di rumah sakit.

Desain yang baik. Desain yang buruk. Tak ada desain ruang yang bersifat netral. Penataan ruang pada akhirnya pasti berdampak dalam mendorong kondisi fisik dan psikologis secara positif, atau sebaliknya, menambah tingkat stress dan tekanan pengguna. Kondisi ruang ini dapat diciptakan dengan mengurangi maupun menghilangkan penyebab-penyebab stress serta mengadakan distraksi positif pada ruangan. Kedua hal ini dapat dibentuk dengan mengolah faktor-faktor pembentuk suasana ruang seperti  pengolahan denah, pemilihan material, akustik ruang, kualitas pencahayaan, elemen tambahan seperti properti ruang (berfungsi sebagai distraksi positif), serta pengadaan keterlibatan alam yang dapat dicapai melalui desain biofilik.

Namun demikian, kemampuan manusia untuk mengadakan ruang yang dapat mendukung  kesehatan mental berbeda-beda, terlebih jika dilihat dari faktor ekonomi. Maka dampak kesehatan psikologis maupun fisik yang dirasakan setiap orang juga akan bervariasi. Sebagaimana trauma yang dapat dirasakan oleh siapa saja tanpa mengenal usia, gender, dan status sosial, besar harapan bahwa hak mendapatkan ruang yang layak bagi pemulihan dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.


___

Opini ini dimuat pada Digital Ebook Archevent 2021 yang mengangkat tema RE(DIS)COVERY. Tema ini berawal dari isu bencana alam yang berdampak langsung terhadap kesehatan mental dan bagaimana healing architecture dapat berkontribusi secara psikologis untuk membantu pengguna melalui proses resilensi.

You May Also Like

0 comments