Doa Cinta
Malam selalu berarak layaknya bulan yang hanya
melintas di gelapnya katulistiwa. Malam itu
aku duduk bersamanya. Tidak, itu dipertengahan jatuhnya matahari di ufuk
barat. Dia terduduk setelah beradu kisah pada-Nya. Gerakan salat itu selalu
membuatnya merasa lebih baik. Dan matanya yang sembab mulai berbicara padaku.
Ya, aku mengerti. Ada sepicis kelelahan dan perasaan bersalah yang Ia tak tahu
harus ditujukan kepada siapa.
“Kenapa...?”
Ia hanya tersenyum cekat.
“Aku lelah untuk semua peruntukkan ini. Aku tak
pernah memulai, tapi mereka selalu mengatakan aku dibalik semua perkataan dusta
itu.”
Ia menghirup nafas. Berat. Dan dihembuskannya
perlahan.
“Mengenai apa?” Aku tak pernah sekalipun
mendesaknya. Hanya lontaran pertanyaan biasa.
“Segalanya, yang sudah demikian berlalu dan
sedang merutukiku. Aku...” Matanya terpejam untuk sesaat. Mungkin ruhnya kali
itu pergi ke sebuah perandaian yang ku tak tahu ke mana. “Tidak membencinya
atas apaun. Karena-Nya telah ajarkanku makna persaudaraan. Dan aku tak menyukainya
lebih dari batas seorang kawan kepada kawan. Karena-Nya telah mengajarakanku
tentang Mahabbah”
Aku terdiam saja. Membiarkannya menangis
seorang diri. Berkutat kepada Tuhannya. Dan sebelum beranjak pergi dariku, Ia
berbisik perlahan, “Doakanku semoga dia bukan sebab turunnya keimananku. Dan
aku bukan sebab turunnya keimamannya...”
0 comments